Nilai-nilai Budaya
Lokal Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Budaya lahir dan
dikembangkan oleh manusia, melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan
tradisi. Setiap manusia memiliki kebudayaan tersendiri, bahkan budaya
diklaim sebagai hak paten manusia. Kebudayan merupakan hasil belajar
yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan manusia yang unik
yang memanfatkan simbol, tanda-tanda, atau isyarat yang tidak ada
paksaan atau hubungan alamiah dengan hal-hal yang mereka pertahankan.
Dengan demikian, setiap manusia baik individu atau kelompok dapat
mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa, dan karsa
masing-masing. Bahasa pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks
sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena
sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial,
bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai
sarana komunikasi. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku
dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi,
tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi,
status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi,
juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Sementara itu, sebagai
fenomena budaya, bahasa selain merupakan salah satu unsur budaya, juga
merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat
penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu
masyarakat--di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah
disebutkan di atas--merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari
suatu bahasa. Pada tahun 60-an komite Amerika mengenai bahasa dan budaya
mengungkapkan hubungan antara bahasa dan budaya. Hubungan-hubungan
tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bahasa adalah bagian dari budaya,
dan harus didekati dengan sikap yang sama membimbing pendekatan kita
lepada budaya sebagai statu keseluruhan. 2) Bahasa adalah wahana budaya,
maka oleh karenanya guru bahasa juga harus sekaligus guru budaya. 3)
Bahasa itu sendiri merupakan subjek bagi sikap dan kepercayaan
terkondisi secara kultural, yang tidak dapat diabaikan di dalam kelas
bahasa (Bishop dalam Tarigan, 1991: 56). Dari pendapat Bishop di atas
terlihat bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari budaya karena bahasa
sebagai subsistem komunikasi adalah suatu bagian dari sistem kebudayaan,
bahkan merupakan bagian terpenting dari kebudayaan. Pemelajaran sastra
merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Di negara kita,
pemelajaran sastra belum berdiri sendiri, tetapi masih menjadi bagian
integratif dari pelajaran bahasa. Terkadang pula pemelajaran sastra
hanya menempati porsi yang sedikit dari pemelajaran bahasa. Seharusnya
pemelajaran sastra harus mendapatkan porsi yang seimbang dengan
pemelajaran bahasa. Pemelajaran sastra diharapkan akan menjadikan anak
didik menjadi manusia yang memiliki identitas kebangsaan. Tetapi, kini
anak usia sekolah pada umumnya senang dengan budaya asing. Hal ini harus
menjadikan para pendidik waspada, karena lama kelamaan akan menjauhkan
anak-anak dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercerabut dari budaya
nenek moyangnya sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan
bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan
kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah
yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang
diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa. Dalam hal
ini perlu dicegah kebudayaan asing yang negatif. Bahasa dan sastra
daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan
identitas keindonesiaan kita. Anak usia sekolah cenderung
menyalahartikan globalisasi dengan mengonsumsi produk barat dan
menelannya mentah-mentah. Padahal budaya global banyak yang menyimpang
dari etika orang Indonesia. Anak-anak kita justru lupa akan budaya
tradisionalnya sendiri. Banyak kebudayaan tradisional yang tidak lagi
dikenal oleh anak-anak kita, karena mereka lebih menyukai kebudayaan
barat yang terkenal dan populer. Perbaikan keadaan budaya bangsa adalah
tanggung jawab bersama, baik keluarga, sekolah, pranata sosial, maupun
masyarakatnya. Salah satu upayanya adalah memberikan arahan sejak
anak-anak. Misalnya, memperkenalkan budayanya sendiri sejak dini. Di
sekolah, usaha ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur budaya
daerah ke dalam mata pelajaran, salah satunya adalah ke dalam pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Sehubungan dengan pengertian kebudayaan,
dalam buku ” Primitive Culture” karangan E.B. Taylor yang pertama kali
terbit tahun 1871, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat (Suriasumantri, 1996: 261) Kemudian Kuntjaraningrat (1974:
12) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan unsur-unsur yang terdiri dari
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sietem mata
pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Dalam hal ini,
kebudayaan merupakan garis pemisah antara manusia dan binatang.
Manusialah yang harus membentuk kebudayaan, bukan kebudayaan yang
membentuk manusia. Kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh dan
digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Fungsi utama kebudayaan adalah
untuk menyebarkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Era global yang ditandai dengan percepatan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga seakan-akan
dunia merupakan sebuat perkampungan global tanpa sekat dan batas yang
jelas. Era global tersebut telah memberikan kesempatan kepada dunia dan
manusia yang hidup di dalamnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dari
berbagai ujung dunia yang berbeda, tanpa hambatan ruang dan waktu.
akibat dari gelala tersebut dikhawatirkan justru kebudayaan dari luarlah
yang membentuk anak didik, karena mereka umumnya masih belum bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seolah-olah bagi mereka
budaya yang datangnya dari barat itu baik adanya. Padalah tidak semua
yang datangya dari barat itu baik, justru sebaliknya banyak pula budaya
yang kurang baik, terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya
luhur bangsa kita. Sifat individual, sikap permisif terhadap seks
merupakan contoh budaya yang datangnya dari luar yang tentunya tidak
sesuai dengan budaya bangsa kita. Salah satu cara untuk memperkenalkan
nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal
kepada anak didik kita. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari
kebudayaan lokal dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di
daerahnya. Memperkenalkan cerita rakyat dalam bentuk mendongeng sebelum
tidur misalnya merupakan budaya bangsa kita dahulu, yang pada masa kini
sudah mulai meluntur seiring berkembangnya zaman. Cerita merupakan salah
satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak
hanya digunakan untuk memahami dunia dan mengekpresikan gagasan,
ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai sarana penting untuk
memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan dan
nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya lokal
yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan.
Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal
berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh
naif jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas
mengabaikan pelestariannya. Ibarat kata pepatah ”menggapai burung
terbang sementara punai di tangan dilepaskan”. Beberapa hal yang
termasuk budaya lokal misalnya cerita (dongeng) rakyat, ritual
kedaerahan, tradisi kedaerahan, kreativitas (tari, lagu, drama, dll.),
dan keunikan masyarakat setempat. Beragam wujud warisan budaya lokal
memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal (local genius)
dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Kearifan
lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada
komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana
komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban
kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional
yang bersifat lokal (Saini KM, 2005). Kearifan lokal adalah pandangan
hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut John Haba (
2008:7-8) kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya.
Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk
memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum,
kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: (1) sebagai penanda
identitas sebuah komunitas; (2) sebagai elemen perekat kohesi sosial;
(3) sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang
dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; (4)
berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat
mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok
dengan meletakkannya di atas common ground; (6) mampu mendorong
terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk
mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan
solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Dari
paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh
gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang
spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu
komunitas atau kelompok etnis tertentu. Masalahnya kearifan lokal
tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan
masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya
yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan
keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru
mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya
yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan
warisan budaya justru terkadang mengabaikan aset yang tidak ternilai
tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Nurgiyantoro (1995: 164)
menegaskan bahwa cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak
manusia ada di muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan.
Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan
eksistensi diri. Cerita tidak saja digunakan untuk memahami dunia dan
mengekpresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai, melainkan juga sebagai
sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, dan
mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi
berikutnya. Pada masa kini, anak-anak kita lebih akrab dengan
Cinderella, Spiderman, Superman, Pinoccio dan lain sebagainya. Tidak
kenal Sangkuriang, Ratna Suminar, Malin Kundang, Bandung Bondowoso,
Purnama Alam, Timun Mas dan lain sebagainya. Karena tidak akrab, maka
jangan heran kalau esensi kearifan lokal yang ada pada cerita tersebut
juga tidak pernah melekat dalam benak anak-anak kita. Dalam era otonomi
daerah sudah selayaknya dan memang seharusnya budaya lokal diperkenalkan
kepada anak-anak kita. Bahkan dalam penyusunan kurikulum di tingkat
pendidikan sekolah dasar dan menengah pun sudah selayaknya
mengintegrasikan budaya lokal ke dalam mata pelajaran, terutama mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal ini dilakukan untuk
memperkecil pengaruh globalisasi yang semakin mengikis budaya bangsa
kita. Hal yang naif terjadi di kota Cilegon provinsi Banten misalnya, di
sekolah dasar muatan lokal (mulok) yang seharusnya mengedepankan budaya
daerah misalnya berupa mulok bahasa dan sastra Jawa Dialek Banten
(BJB), malah diabaikan, karena pengambil kebijakan lebih memilih bahasa
Inggris sebagai pelajaran mulok. Tontonan dan tayangan di televisi lebih
menonjolkan budaya orang lain daripada budaya bangsa kita. Tontonan dan
tayangan yang menunjukkan keragaman budaya dan bahasa di nusantara
teramat jarang. Seharusnya tontonan keragaman budaya nusantara disajikan
sesering mungkin pada anak-anak generasi penerus bangsa Indonesia, agar
mereka tahu produk media televisi juga menceritakan tentang tanah
airnya. Selama ini anak-anak lebih Indonesia akrab dengan ”Tom And
Jerry” , ”Naruto”, ”Dora” , ”Mickey Mouse”dan lain-lain, mana cerita
anak yang berlatar belakang budaya daerah yang ada di Indonesia? Mana
produk bangsa ini yang bisa memperkaya generasi muda dan meluaskan
wawasan mereka terhadap multikultur dan kemajemukan budaya bangsa? Tanpa
sadar, kita telah dimiskinkan oleh aneka tontonan dan tayangan yang
mencerminkan budaya orang lain. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk
mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta
(Semi, 1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan
ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat
yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan
cara teknik melisankan melaui tulisan sastra. Perbedaan sastrawan dengan
orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus
kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain. Sastra
selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga
sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan
emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat
memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca (Semi, 1993:1).
Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan
pemelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada
siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan
intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal. Salah satu genre
sastra adalah prosa. Cerita rakyat (folklor) merupakan salah satu jenis
prosa. Cerita rakyat sebagai salah satu budaya lokal sudah sepantasnya
mulai dijadikan sebagai bahan pemelajaran sastra di sekolah. Penanaman
nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat terhadap anak didik
diyakini akan melekat sampai dewasa. Hal ini berkaitan dengan salah satu
manfaat pemelajaran sastra yaitu membentuk watak peserta didik. Karya
sastra memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat karena dalam
karya sastra terkandung nilai-nilai yang positif bagi pembaca dan
berguna bagi masyarakat secara luas. Sastra dapat menyampaikan amanat
dan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai pendidikan kepada pembaca. Pesan
moral dalan sastra sejatinya esensi yang harus ditemukan oleh pembaca
atau penikmat sastra. Pesan moral dalam karya sastra merupakan hal
terpenting dalam sastra sebagai bahan kontemplasi pembaca dalam merajut
nilai-nilai hidup dan melakoni kehidupan yang lebih baik. Misalnya,
cerita rakyat ”Dampu Awang” di daerah Banten yang berlatar gunung Kramat
Watu memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Bagaimana seorang
anak harus bersikap hormat pada orang tua. Jangan sampai lupa kepada
orang tua walaupun sudah hidup sukses. Dari jalan ceritanya agak mirip
dengan cerita rakyat yang sudah lebih dulu terkenal dari daerah
Minangkabau, yaitu Malin Kundang. IV. Penutup Penulis sadar bahwa
makalah singkat ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak sisi yang
belum dibahas tuntas oleh penulis. Hal ini mudah-mudahan menginspirasi
para pembaca untuk membahas topik ini supaya lebih mendalam lagi. Ide
mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pemelajaran sastra merupakan ide
penulis yang belum didukung oleh referensi yang mendalam. Ide ini
dilatarbelakangi kepedihan penulis melihat anak-anak kita lebih menyukai
tokoh-tokoh cerita dari luar daripada dari dalam negeri sendiri.
Mudah-mudahan selanjutnya penulis dan juga para pembaca bisa lebih
memperjelas ide tersebut dengan disertai referensi yang mendukung.
Memang berdasarkan referensi yang penulis temukan, selama ini
pemelajaran sastra di sekolah dianggap kurang berhasil. Salah satunya
karena porsi pemelajaran sastra terkadang sering dilewatkan begitu saja
oleh para guru. Andaikan para guru memperhatikan pemelajaran sastra
secara seksama dan tentunya dengan mengitegrasikan budaya lokal.
Misalnya di daerah Banten sudah selayaknya cerita rakyat ”Dampu Awang”
diperkenalkan sejak sekolah dasar. Penulis meyakini efek negatif
globalisasi akan bisa diminimalisir. Bahkan tragedi ”kebanjiran budaya”
(culturally overwhelmed) asing tidak akan pernah terjadi. Identitas
kebangsaan kita diyakini akan tetap terjaga. Agar eksistensi budaya
lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena
anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan
untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian
integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal merupakan
budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial
di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya
adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat
daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Pada akhirnya,
mengintegrasikan budaya lokal dalam pemelajaran sastra diharapkan akan
mengimbangi pengaruh budaya asing yang semakin mewabah di masyarakat
kita. Dengan kata lain gerakan ”kearifan lokal” (local genius) dengan
kembali ke akar budaya bangsa sendiri merupakan tindakan cerdas untuk
meminimalisir pengaruh negatif globalisasi.
Daftar PustakaAbrams, MH. 1988. A Glossary of Literary Terms. Fort Worth: Holt, Rinehart & Winston Inc. Alisyahbana, S.T. 1988. Kebudayaan sebagai Perjuangan. Jakarta: Dian Rakyat.
Goodenough, Ward H. 1981. Culture, Language, and Society. Philiphines: Benjamin/Cumming Publishing. Koentjaraningrat. 1974. Kebudaanyaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarya: UGM Press. Saini K.M. 2005. ”Kearifan Lokal di arus Global”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Spradley, James P. 1997. The Etnographic Interview (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sumber :http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/306
Asslamualaikum zakia, materi yang bagus akan tetapi lebih menarik lagi jika disertai dengan gamabar. Terimakasih.
BalasHapuskunjungi juga blog saya http://riskaniess09.blogspot.co.id/
How To Play Baccarat - FABCasino
BalasHapusIn any event, there are lots of betting markets involved. This can include a lot 바카라 of odds and the opportunity to deccasino play at some of the 메리트 카지노 주소